Langsung ke konten utama

Teori Semiotika Puisi Reffaterre



Reffaterre (1978) membagi semiotika puisi dalam bukunya ke dalam lima bab, untuk keperluan penelitian ini empat bab yang pertama perlu diuraikan dalam penelitian ini.
·         Significance
            Reffaterre membedakan antara meaning (arti) dan significance (makna). Ciri-ciri puisi adalah kepaduannya, secara formal dan semantik. Dia menyebut kepaduan formal dan semantik ini significance. “ From the standpoint of significance text is one semantic unit. From the standpoint of meaning text conveys a string of succesive information units, the language is referential” (Reffaterre, 1978:2). Arti adalah yang dirujuk oleh teks pada tataran mimetik. Ciri dasar mimesis adalah bahwa ia menghasilkan urutan semantik yang terus menerus berubah. Puisi mentransformasikan teks pada tataran mimesis ke tataran yang tinggi, yaitu tataran semiosis yang di dalamnya kompleks pemaknaan ditransformasikan ke unit pemaknaan (Reffaterre, 1978:4).
            Pendeknya, pada tataran mimetik arti kata bergantung sepenuhnya pada sintaks dan posisi, kata-kata menambahkan informasi ke informasi sebelumnya. Pada tataran semiotik, kata-kata mengulang informasi yang sama, biasanya sebuah seme atau struktur tematik yang tidak berbeda. Dengan demikian, apabila teks mimetik bersifat sintagmatik, teks semiotik bersifat paradigmatik (Reffaterre, 1978: 88).
            Puisi merupakan transpormasi matriks, sebuah kalimat minimal dan literal, menjadi periphrases yang kompleks dan nonliteral. Matriks  dapat dinyatakan dalam satu kata yang mungkin tidak muncul dalam teks. Kata itu selalu diaktualisasikan ke dalam varian yang berturut-turut; bentuk varian ini ditentukan oleh aktualisasi yang pertama atau yang utama yang menjadi model aktualisasi. Matriks, model, dan teks adalah varian dari struktur yang sama. Matriks merupakan motor, generator bagi derivasi tekstual, sementara model menentukan cara (manner) derivasi itu (Reffaterre, 1978:13,19,21).
            Sejalan dengan pembedaan antara arti dan makna, Reffatere membedakan dua jenis pembacaan, yaitu pembacaan heuristik dan pembacaan hermeneutik. Pembacaan heuristik adalah pembacaan pada tahap pertama, pada tahap ini input pembaca adalah kompetensi linguistik, termasuk asumsi bahasa bersifat referential dan kemampuan mencermati ketidaksesuaian (incompatibility) antara kata-kata sehingga tidak dapat diartikan secara literal dan membutuhkan pemahaman secara kiasan. Artinya, kompetensi linguistik bukan satu-satunya faktor yang terlibat. Pada tahap ini mimesis dipahami secara penuh (Reffaterre, 1978:5).
            Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan tahap kedua. Pada tahap ini pembaca meninjau, merevisi, dan membandingkan ke belakang apa yang baru saja dibacanya. Di sini ia akan mengenali bahwa ketidakgramatikalan yang ada dalam teks sesungguhnya ekivalen, varian dari matriks struktural yang sama. Teks dengan demikian merupakan efek dari variasi atau modulasi suatu struktur – tematik, simbolik, atau apa pun – dan hubungan yang dipertahankan ke satu struktur ini membentuk significance. Dengan demikian, sementara unit arti mungkin kata, frasa, atau kalimat, unit makna adalah teks (Reffaterre, 1978:5-6).
·         Produksi Tanda
Tanda puitik adalah kata atau frasa yang memiliki kaitan dengan significance, tanda puitik ditentukan oleh derivasi hipogramatik. Maksudnya, sebuah kata atau frasa menjadi puitis ketika merujuk ke (dan jika merupakan sebuah frasa, terpola berdasar) kelompok kata yang ada sebelumnya (Reffaterre, 1978:23). Tanda puitik mengaktualisasikan sebagian dari hal ini. Kata inti hipogram itu sendiri mungkin diaktualisasikan mungkin pula tidak.
Sememe dari kata inti (kernel word) berfungsi seperti sebuah ensiklopedia representasi yang berhubungan dengan arti kata itu. Aktualisasinya mempunyai efek menyerap (saturating) urutan verbal derevatif dengan arti itu (Reffaterre, 1978:25-26).
Hipogram mungkin juga dibentuk dari kata-kata klise dan sistem deskriptif. Kata-kata klise dan sistem deskriptif ini berbeda dari kategori sebelumnya dalam bahwa kata-kata klise dan sistem deskriptif telah teraktualisasikan dalam bentuk-bentuk yang telah berada dalam benak pembaca. Kata-kata klise dan sistem deskriptif  ini merupakan bagian dari kompetensi linguistik pembaca, dan konotasi kesastraan sering melekat padanya. Klise adalah contoh-contoh yang telah jadi, citra yang telah teruji, diucapkan pertama kali pada waktu lampau, dan senantiasa mengandung kiasan (trope), perangkat stilistik yang tersimpan. Sistem deskriptif adalah kata-kata berasosiasi satu sama lain seputar kata inti, sesuai dengan sememe kata inti itu. Tiap komponen dari sistem itu berfungsi sebagai metonimi nucleus-nya (Reffaterre, 1978:39).
·         Produksi Teks
            Teks sebagai lokus dari significance dihasilkan oleh konversi dan ekspansi. Konversi dan ekspansi menetapkan (establish) ekivalen antara kata dan rangkaian kata: yakni antara lexeme dan syntagm. Ekspansi menetapkan ekivalensi dengan mentransformasikan  satu tanda ke beberapa tanda, dengan menderivikasikannya dengan menggunakan fitur yang menentukan kata-kata. Konversi menetapkan ekivalen dengan mentransformasikan beberapa tanda menjadi satu tanda “kolektif” dengan memberi komponen rangkaian itu fitur ciri-ciri yang sama (Reffaterre, 1978:47).
            Ekspansi mengintegrasikan aktualisasi produksi tanda dari hipogram, mendiskusikan sebelumnya, dan mengikuti pola sistem deskriptif. Hal ini tampak pada perifrasis dan metafora yang dikembangkan. Ekspansi merupakan agen utama transformasi tanda tekstual dan teks, dan oleh karenanya merupakan penghasil significance yang utama, karena sebuah konstan hanya dapat diketahui di mana teks melebar ke varian yang berurutan dari given awal; yang kompleks keluar dari yang sederhana. Pendeknya, aturan ekspansi adalah “mentransformasikan konstituen kalimat matriks ke bentuk yang lebih kompleks.” (Reffaterre, 1978:47-48).
Dalam bentuknya yang paling sederhana, ekspansi seluruhnya dibuat oleh sekuen yang bersifat pengulangan, yang melayani penciptaan rima dan penyisipan wacana deskriptif ke dalam naratif (Reffaterre, 1978:49). Kebanyakan, lebih dari sekadar pengulangan ekspansi juga melibatkan perubahan gramatikal dari konstituen kalimat model: kata ganti diubah menjadi kata benda, kata benda menjadi kelompok, kata sifat menjadi anak kalimat, dan seterusnya (Reffaterre, 1978:51).
·         Interpetant
Reffaterre menjelaskan interpretant (dalam kaitannya dengan tanda) sebagai “A sign stand for something to the idea which it produced.” For which it stands is called its object, its meaning. The idea to which it gives is its interpretant” (Reffaterre, 1978:81). Tanda menggantikan sesuatu merujuk ke gagasan yang dihasilkannya. Yang digantikannya disebut objek, arti tanda itu. Gagasan yang keluarkannya disebut interpretant.
Reffaterre membuat pembedaan antara lexematic interpretant dan textual interpretant. Lexematic interpretant adalah kata-kata mediasi, disebut juga sebagai dual signs (tanda ganda), karena kata-kata itu melahirkan dua teks sekaligus dalam puisi (atau satu teks yang harus dipahami dalam dua cara), atau kata-kata itu mengandaikan dua hipogram sekaligus. Dual sign (tanda ganda) adalah ekivokal yang terletak pada titik di mana dua rangkaian asosiasi semantik atau formal berinteraksi (Reffaterre, 1978:81).
Dalam sastra Indonesia, contoh dari lexematic interpretant adalah judul kumpulan puisi kumpulan puisi oleh tiga penyair: Chairil Anwar, Rivai Apin, dan Asrul Sani: “Tiga Menguak Takdir”. “menguak” dapat berarti “Membuka/menyingkap”, dapat pula berarti “meneriaki” (seperti sepi menguak). “Takdir” dapat berarti “ketentuan Tuhan” dapat pula berarti “Sutan Takdir Alisyahbana”. Dengan demikian dapat diandaikan bahwa puisi tersebut merupakan derivasi dari dua hipogram.
Textual interpretant adalah teks mediasi, baik kutipan atau sindiran dalam puisi. Textual interpretant bisa berupa kalimat persembahan, seperti kalimat “buat sri ayati” pada puisi Chairil Anwar “Senja di Pelabuhan Kecil” dan “Kepada pemeluk teguh” pada puisi Chairil Anwar yang lain, “Doa”. Kalimat persembahan semacam ini biasanya tercantum bawah judul.
Textual interpretant memadu pembaca ke dua cara. Pertama ia membantu memfokuskan pada konflik interteks di mana dua kode yang berkonflik hadir di pinggirannya. Kedua, textual interpretant berfungsi sebagai model derivasi hipogramatik (Reffaterre, 1978:109-110). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa textual interpretant menyajikan kunci untuk melakukan hubungan paradigmatik dengan teks-teks lain. Teks di sini merujuk bukan hanya ke bahan-bahan tertulis, tetapi juga ke kehidupan. Kalimat persembahan “buat sri ayati” pada “Senja di Pelabuhan Kecil” oleh Chairil Anwar itu jelas merujuk ke kehidupan, hubungan Chairil Anwar dengan seseorang yang bernama Sri Ayati.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Metode dan Cara Pengumpulan Data Statistik

Pengumpulan data dapat dilakukan melalui 4 cara yaitu registrasi, sensus, survey, dan eksperimen. Namun, secara umum dalam statistik, dikenal dua cara pengumpulan data yaitu sensus dan survey. Registrasi/pencatatan . Istilah registrasi saat ini lebih kepada pencatatan secara individu melalui berbagai institusi. Misalnya pencatatan penduduk di desa-desa secara terus menerus. Setiap ada warga baru yang tinggal, lahir, maupun meninggal, maka warga yang terlibat atau pun perangkat desa melakukan pencatatan. Cara ini lebih dikenal dengan istilah catatan administrasi. Lembaga-lembaga swasta, banyak yang secara otomatis telah memanfaatkan catatan administrasi sebagai data statistik, seperti contoh pelaporan pasien Rumah sakit & perbankan. Sensus   yaitu cara pengumpulan data secara lengkap, dimana seluruh elemen dalam populasi yang menjadi objek penelitian diselidiki/dicacah satu per satu. Survei yaitu pengumpulan data dimana data yang diselidiki adalah elemen dari p

BAHASA JAWA DAN HARAPAN

Kalau kita semua selama ini dalam berfikir tentang budaya dan bahasa Jawa, bisa dikatakan sangat sederhana, bahkan cenderung kita pandang sebelah mata. mari mulai sekarang kita ubah cara pandang tersebut. Setelah kita semua memahami, kalau didalam budaya Jawa banyak terdapat ilmu pengetahuan dan teknologi yang bisa dikembangkan untuk kemaslahatan orang banyak, pastilah kita akan berusaha untuk mempelajari bahasa Jawa. Karena bahasa Jawa merupakan pintu untuk memasuki atau membuka sebuah “Rumah Besar” yang disebut budaya Jawa tersebut. Setelah cara pandang kita terhadap budaya dan bahasa Jawa lebih komprehensif, pastilah yang kita dapat tidak hanya sebuah pengakuan kearifan lokal atau lokal genius tapi akan ada pengakuan global genius . Sementara itu, ada beberapa kalangan yang berfikir tidak suka budaya dan bahasa Jawa karena dianggapnya ruwet dan terlalu banyak aturan. Padahal harus kita sadari, kalau semakin tinggi suatu peradaban, akan semakin banyak dan detil dalam membuat

6.1. Perluasan Kaidah Menghitung

kaidah perkalian dan kaidah penjumlahan diatas dapat diperluas hingga mengandung lebih dari dua buah percobaan. Jika n buah pecobaan masing- masing mempunyai p 1, p 2 ,……, p n   hasil percobaan yang mungkin terjadi yang dalam hal ini   setiap   p 1 tidak bergantung pada pilihan sebelumnya, maka jumlah hasil percobaan yang mungkin terjadi   adalah: a.        p 1 x p 2 x ….. x p n              untuk kaidah perkalian b.       p 1 + p 2 + ….. + p n          untuk kaidah penjumlahan Contoh 6.8 jika ada sepuluh pertanyaan yang masing-masing bisa dijawab benar atau salah (B atau S) berapakah kemungkinan kombinasi jawaban yang dapat dibuat? Penyelesaian: Andaikan 10 pertanyaan tersebut sebagai 10 buah kotak, masing-masing kotak hanya berisi 2 kemungkinan jawaban, B atau S:   Disini kita menggunkan kaidah perkalian, karena kesepuluh kotak ini harus terisi dengan jawaban B atau S (kotak 1 dan kotak 2dan kotak 3 dan …. D