Kurikulum 2013 memiliki banyak sisi negatif selain
penuh kontradiksi. Pertama memiliki tujuan untuk melahirkan manusia yang
kreatif, kritis, inovatif, tapi penuh materi yang normatif karena ada
penambahan jam belajar agama. Kedua, berharap proses pembelajaran lebih leluasa
tapi ada penambahan jam pelajaran.
Kurangnya sarana dan prasarana yang belum memadai
dan merata untuk menjalankan kurikulum 2013. Tak semua siswa dan sekolah
memiliki sarana dan prasarana yang memadai untuk mengajarkan siswanya belajar
secara aktif dan mandiri. Terutama jika kurikulum ini akan diterapkan di
daerah-daerah yang terpencil. Kurikulum 2013 hanya cocok untuk sekolah yang
sudah maju dan gurunya punya semangat belajar tinggi, masyarakat yang sudah
terdidik, muridnya memiliki kemampuan dan fasilitas setara, serta infrastruktur
telekomunikasi dan transportasi sudah merata sehingga tidak menghambat proses.
Apalagi, guru di Indonesia pada umumnya malas belajar dan minim rasa ingin
tahu. Mayoritas orang tua tidak peduli pada proses belajar sang anak, kemampuan
anak dan fasilitas tidak setara, infrastruktur telekomunikasi tidak merata,
serta beban guru dan orangtua meningkat.
Kurikulum 2013 bertentangan dengan UU Nomor 20 Tahun
2003 yang berisi tentang Sistem Pendidikan Nasional. Hal ini karena penekanan
pengembangan kurikulum hanya didasarkan pada aspek orientasi pragmatis. Selain
itu, kurikulum 2013 sendiri tidak didasarkan pada aspek evaluasi dari
pelaksanaan sistem Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) di tahun 2006
sehingga dalam pelaksanaannya bisa saja membingungkan guru dan pemangku
pendidikan. Guru sebagai elemen penting juga tidak pernah dilibatkan langsung dalam
proses upaya pengembangan kurikulum 2013. Pemerintah seolah melihat semua guru
dan siswa di berbagai daerah memiliki kapasitas yang sama dalam kurikulum 2013.
Selain itu, kekurangan lainnya terletak pada
penggunaan Ujian Nasional (UN) sebagai evaluasi standar proses pembelajaran
siswa aktif. Sehingga tidak adanya keseimbangan antara orientasi dari proses pembelajaran
dengan hasil dalam kurikulum 2013 itu sendiri. Keseimbangan sulit dicapai
karena UN hanya mampu mendorong orientasi pendidikan pada hasil dan justru sama
sekali tidak memperhatikan proses upaya pembelajaran. Hal ini akan berdampak
pada dikesampingkannya subjek mata pelajaran yang tidak diujikan dalam UN
tersebut. Padahal, mata pelajaran non-UN juga mampu memberikan kontribusi yang
besar untuk mewujudkan tujuan pendidikan.
Kelemahan penting lainnya, pengintegrasian mata
pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dalam
mata pelajaran Bahasa Indonesia untuk jenjang pendidikan dasar. Langkah ini
tidak tepat karena rumpun ilmu mata pelajaran-mata pelajaran itu berbeda.
Sistem penilaian kurikulum 2013 dinilai guru terlalu
rumit. Dalam kurikulum 2013, guru harus melakukan tiga set penilaian terhadap
siswa, antara lain penilaian sikap, penilaian kognitif, dan penilaian keterampilan.
Masing-masing set penilaian masih dijabarkan lebih banyak, misalkan set penilaian
sikap yang terdiri atas penilaian observasi (kedisiplinan, kejujuran, peduli lingkungan,
dsb), penilaian diri, penilaian teman sejawat, dan penilaian jurnal. Sistem
penilaian yang banyak dan rumit tersebut harus diterapkan guru pada
masing-masing siswa, per mata pelajaran, dan per kompetensi dasar. Untuk satu mata
pelajaran, rata-rata kompetensi dasar adalah tujuh sampai delapan. Berarti guru
harus membuat delapan kali tiga set laporan narasi untuk masing-masing siswa.
Jika satu kelas terdiri atas 40 anak dan satu guru mengampu tujuh kelas, maka
bisa dibayangkan berapa laporan narasi yang harus dibuat oleh guru. Sementara
laporan berbentuk narasi mendalam harus berbeda-beda pada masing-masing siswa. Sistem
penilaian yang terlalu banyak inilah yang dinilai memberatkan guru. Seharusnya
sistem penilaian
dibuat
lebih sederhana. Sistem penilaian yang terlalu rumit seperti ini lebih cocok
diterapkan jika satu guru hanya mengampu 16 siswa dalam satu kelas. Kurikulum
2013 juga belum dievaluasi. Bagaimana kurikulum yang belum dievaluasi sudah
langsung diluncurkan dan diterapkan? Seharusnya kurikulum ini dievaluasi dan
diujicobakan terlebih dulu. Setelah benar-benar matang dan siap dilaksanakan,
baru diterapkan ke sekolah-sekolah.
Komentar
Posting Komentar